Wildy Zhalifunnas   •  

Jejak Labirin RUPTL 2021-2030 dan Paradoks Ambisi RUPTL 2025-2034 dalam Kebijakan Energi Nasional


Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) merupakan dokumen perencanaan strategis sepuluh tahunan yang disusun oleh PT PLN (Persero) dan disahkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Secara resmi, RUPTL berfungsi sebagai cetak biru untuk memproyeksikan dan memenuhi kebutuhan listrik nasional, merinci rencana pembangunan pembangkit, serta memastikan keandalan pasokan energi di seluruh Indonesia. Dokumen ini diposisikan sebagai pilar utama dalam upaya pemerintah mengarahkan sektor ketenagalistrikan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan rendah karbon, sejalan dengan komitmen iklim global.

Namun, laporan ini bertujuan untuk menguji perspektif kritis opini penulis. Analisis ini akan mengungkap bagaimana RUPTL terlepas dari retorika ambisiusnya, kegagalan pencapaian target energi terbarukan (EBT), dan ketergantungan yang terus berlanjut pada bahan bakar fosil. Inkonsistensi kebijakan ditambah dengan beban finansial yang signifikan bagi negara, menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai komitmen negara Indonesia terhadap transisi energi yang adil dan berkelanjutan.

I. Pendahuluan: RUPTL sebagai Narasi Ambisi dan Realitas Energi Indonesia

Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) secara resmi diposisikan sebagai dokumen perencanaan bisnis 10 tahunan PT PLN (Persero). Dokumen ini disahkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia untuk memenuhi proyeksi kebutuhan listrik Indonesia [1], [11]. RUPTL mencakup rencana pengadaan pembangkit listrik tanggal operasi komersial (COD) setiap pembangkit serta strategi PLN menjaga pasokan listrik nasional seimbang dan andal [1]. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor kelistrikan PLN mengemban peran vital dalam perekonomian dan keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia. Mandatnya memastikan ketersediaan pasokan energi listrik terjamin dan layanan andal bagi seluruh rakyat Indonesia [2]. PLN juga menekankan pentingnya pertumbuhan berkelanjutan dalam setiap operasi bisnisnya. Ia berupaya mencapai transformasi energi berkelanjutan melalui berbagai inisiatif keberlanjutan menyeimbangkan aspek manusia planet dan keuntungan [2]. RUPTL 2021-2030 misalnya dipromosikan sebagai RUPTL lebih "hijau" dan landasan mencapai target nol karbon pada tahun 2060 [3], [4], [27].

II. Jejak Historis RUPTL 2021-2030: Janji Hijau yang Tak Terealisasi

A. Target Ambisius vs Realisasi Pembangkit EBT

RUPTL 2021-2030 awalnya menetapkan target penambahan kapasitas energi baru terbarukan (EBT) yang sebesar 20.9 GW hingga tahun 2030 [3], [4]. Angka ini merepresentasikan 51.6% dari total 40.6 GW kapasitas baru yang direncanakan selama periode tersebut [3], [4]. Target ini secara konsisten digembor-gemborkan sebagai bagian upaya mewujudkan "RUPTL lebih hijau" dan sebagai "landasan mencapai Zero Carbon 2060" [3], [4], [27]. Narasi ini menciptakan ekspektasi tinggi terhadap percepatan transisi energi di Indonesia.

Namun ternyata realisasi penambahan kapasitas EBT jauh dari harapan. Hingga pertengahan tahun 2025 hanya 1.6 GW kapasitas EBT berhasil direalisasikan sejak tahun 2021 [7]. Institute for Essential Services Reform (IESR) secara khusus menyoroti dari target 10 GW pembangkit EBT seharusnya sudah beroperasi pada pertengahan 2025 hanya 1.6 GW benar-benar terwujud [7]. Ini merupakan selisih mencolok menunjukkan kegagalan implementasi mendalam. Bahkan laporan dari YRDCPCN mengkritik lambatnya instalasi PLTS di Indonesia [37].

Kesenjangan mencolok antara target ambisius dan realisasi minim menunjukkan ambisi 'hijau' dalam dokumen kebijakan tersebut. Label 'hijau' disematkan pada RUPTL 2021-2030 tampaknya lebih merupakan upaya pencitraan publik aspiratif daripada rencana konkret dapat dicapai. Hal ini mengindikasikan ketidaksesuaian antara retorika kebijakan dan kapasitas implementasi di lapangan. Konsekuensinya kredibilitas pemerintah di mata publik dan komunitas internasional terkait komitmen iklimnya menjadi dipertanyakan. Hal tersebut juga memunculkan pertanyaan serius mengenai penilaian realistis selama fase perencanaan atau ketidakmampuan mengatasi hambatan implementasi mendasar.

Untuk lebih memperjelas, disajikan perbandingan antara target dan realisasi kapasitas EBT dalam RUPTL 2021-2030 disajikan dalam Tabel 1:

Tabel 1: Perbandingan Target vs Realisasi Kapasitas EBT dalam RUPTL 2021-2030 (GW)

KategoriTarget (GW)Realisasi (GW, hingga pertengahan 2025)Selisih (GW)% Realisasi dari Target 2030
Total Kapasitas EBT Baru (2021-2030)20.9 [3], [4]1.6 [7]19.37.65%
EBT Diharapkan Beroperasi (hingga mid-2025)10.0 [7]1.6 [7]8.416.0%

Tabel ini secara gamblang menunjukkan betapa jauhnya realisasi dari target telah ditetapkan menggarisbawahi kegagalan substansial dalam upaya transisi energi.

B. Ketergantungan Berlanjut pada Energi Fosil

Meskipun RUPTL 2021-2030 diklaim sebagai rencana "lebih hijau" dokumen tersebut tetap memproyeksikan ketergantungan signifikan pada bahan bakar fosil. Batu bara khususnya mendominasi bauran energi dengan porsi 59.4% atau dua kali lipat dari porsi energi terbarukan [8]. Dan secara keseluruhan pembangkit listrik berbasis fosil menyumbang 48% dari total kapasitas baru direncanakan [4].

Andi Prasetyo seorang peneliti dari Trend Asia mengkritik RUPTL ini karena porsi bahan bakar fosil masih besar dan inkonsistensi pemerintah terkait pembatalan proyek-proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara pernah disebutkan PLN [8]. Meskipun RUPTL menyatakan tidak akan ada PLTU baru kecuali sudah berkomitmen atau dalam masa konstruksi [4], proyek-proyek berasal dari program 35 GW sebagian besar berbasis batu bara terus dikembangkan. Ini berkontribusi pada masalah kelebihan pasokan listrik [3], [4]. Penggunaan biomass co-firing pun dikritik sebagai cara untuk memperpanjang napas PLTU batu bara tanpa perubahan fundamental [39].

Narasi pemerintah tentang RUPTL 2021-2030 yang "lebih hijau" tergerus pengembangan berkelanjutan proyek-proyek bahan bakar fosil terutama batu bara. Dalihnya "sudah berkomitmen dan dalam konstruksi." Ini secara efektif menciptakan celah memungkinkan perluasan infrastruktur tinggi emisi meskipun ada tujuan lingkungan dinyatakan dan kondisi kelebihan pasokan sudah ada [3], [8]. Situasi ini mengindikasikan kepentingan ekonomi atau politik kuat terkait industri bahan bakar fosil mempertahankan pengaruh besar terhadap kebijakan energi. Ini menghalangi pergeseran tulus dan cepat dari batu bara. Keengganan pemerintah mengatasi proyek-proyek "berkomitmen" ini bahkan jika itu berarti memperburuk kelebihan pasokan dan meningkatkan biaya menunjukkan prioritas pada kontrak ada dan stabilitas industri daripada keharusan lingkungan. Akibatnya hal ini mengunci Indonesia pada jalur karbon lebih tinggi membuat transisi energi jangka panjang menjadi lebih menantang dan mahal.

C. Isu Oversupply dan Dampak pada Sistem Ketenagalistrikan

Sistem kelistrikan Indonesia khususnya di Jawa dan Bali telah mengalami kondisi kelebihan pasokan (oversupply) [8], [12]. Kelanjutan program 35 GW dengan komponen batu bara signifikan memperburuk masalah ini karena permintaan lebih rendah dari proyeksi sebagian diakibatkan pandemi COVID-19 [3], [14]. Kondisi ini menciptakan inefisiensi substansial di mana PLN terpaksa membayar kapasitas tidak sepenuhnya termanfaatkan.

Skema "Power Wheeling" diusulkan dalam RUU EBT juga menuai kritik karena berpotensi memperburuk kelebihan pasokan terutama dengan karakteristik EBT intermiten dan tidak stabil. Ini juga meningkatkan risiko terjadinya pemadaman listrik (blackout) [12].

Kelebihan pasokan terus-menerus ini bukan sekadar tantangan teknis atau operasional. Ia memiliki dampak finansial parah akibat klausul "Take or Pay" (ToP) dalam perjanjian jual beli listrik. Klausul ini mewajibkan PLN/pemerintah membayar listrik terlepas dari apakah listrik tersebut dikonsumsi atau tidak. Proyeksi menunjukkan peningkatan beban ToP dari Rp 317 triliun menjadi Rp 429 triliun pada tahun 2030. Ini berarti kenaikan sebesar Rp 112 triliun [12]. Beban ini secara langsung berasal dari kelebihan pasokan dan ketidakmampuan mengurangi kapasitas telah dikontrak. Ini menunjukkan kegagalan mendasar dalam proyeksi permintaan dan ketidakmampuan beradaptasi dengan dinamika pasar berubah diperparah kontrak jangka panjang kaku dengan pembangkit bahan bakar fosil. Beban finansial ini pada akhirnya dialihkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan berpotensi kepada konsumen melalui kenaikan harga listrik [12]. Model finansial tidak berkelanjutan ini membahayakan kesehatan fiskal PLN. Ini membatasi kapasitasnya berinvestasi pada teknologi berorientasi masa depan seperti EBT. Ini juga secara efektif menciptakan subsidi tersembunyi untuk pembangkit listrik berbahan bakar fosil tidak efisien menghambat pembangunan ekonomi keseluruhan dan meningkatkan biaya listrik bagi masyarakat.

D. Hambatan Regulasi dan Koordinasi yang Menghambat Implementasi

Hambatan utama diidentifikasi untuk investasi pembangkit listrik skala besar di Indonesia mencakup ketidakpastian regulasi. Sekitar 83% investor menyebut hal ini [13]. Kurangnya koordinasi antar kementerian/lembaga pemerintah disebut sekitar 73% investor [13]. Meskipun pandemi COVID-19 menyebabkan ketidakpastian permintaan dan menunda pengesahan RUPTL [3], [14] masalah regulasi dan koordinasi mendasar ini sudah ada sebelum pandemi dan terus menghambat kemajuan. Hal ini juga tercermin dalam kritik terhadap RUPTL 2025-2034 yang dinilai membingungkan investor [35].

Identifikasi konsisten terhadap "ketidakpastian regulasi" dan "kurangnya koordinasi antar kementerian/lembaga" sebagai hambatan utama investasi bahkan sebelum dampak penuh pandemi menunjukkan defisiensi tata kelola sistemik lebih dalam [13]. Ini bukan sekadar tantangan operasional melainkan cacat mendasar dalam ekosistem perumusan dan implementasi kebijakan. Lanskap regulasi terfragmentasi dan kurangnya visi terpadu di berbagai badan pemerintah menghambat investasi swasta krusial terutama untuk proyek EBT kompleks dan padat modal [10], [15]. Hal ini mengindikasikan pemerintah gagal menciptakan lingkungan stabil dan dapat diprediksi diperlukan untuk pengembangan infrastruktur berskala besar khususnya di sektor transisi energi berkembang pesat. Tanpa mengatasi kelemahan tata kelola fundamental ini RUPTL baru apa pun terlepas dari ambisi dinyatakan sangat rentan terhadap kegagalan implementasi serupa. Ini melanggengkan siklus target tidak tercapai menghambat partisipasi sektor swasta dan pada akhirnya memperlambat transisi energi diperlukan menyebabkan hilangnya peluang ekonomi dan berlanjutnya degradasi lingkungan.

III. Paradoks Ambisi RUPTL 2025-2034: Mengulang Kegagalan dengan Wajah Baru?

A. Target EBT yang Menurun di Balik Persentase yang Meningkat

RUPTL 2025-2034 secara resmi dipresentasikan dengan target ambisius menambah kapasitas baru sebesar 69.5 GW [1], [9], [16]. Porsi energi terbarukan (EBT) dialokasikan meningkat tajam menjadi 61% (42.6 GW) dari total kapasitas naik dari 51.6% pada RUPTL sebelumnya [1], [9], [16]. Klaim ini menciptakan kesan pemerintah semakin serius mendorong transisi energi.

Namun analisis kritis mengungkapkan tren mengkhawatirkan. Meskipun persentase EBT meningkat target GW absolut untuk kapasitas energi bersih baru pada tahun 2030 justru diturunkan dari 20.9 GW (dalam RUPTL 2021-2030) menjadi 17 GW dalam RUPTL 2025-2034 yang baru [5], [6]. Ini merupakan pengurangan sebesar 3.9 GW dibandingkan ambisi rencana sebelumnya [6]. Lebih lanjut target RUPTL 2025-2034 untuk energi surya dan angin (10.6 GW pada 2030) hanya 40% dari 24.3 GW digariskan dalam JETP CIPP (Just Energy Transition Partnership Comprehensive Investment and Policy Plan) [6], [30]. Katadata juga menyoroti bahwa RUPTL terbaru ini "melemahkan ambisi untuk energi bersih" [28].

Penekanan pemerintah pada persentase EBT lebih tinggi (61%) dalam RUPTL baru [1], [9], [16] merupakan contoh klasik dari apa dapat diinterpretasikan sebagai "greenwashing." Meskipun persentase tersebut terdengar mengesankan target Gigawatt (GW) absolut untuk kapasitas EBT baru pada tahun 2030 justru berkurang dari ambisi RUPTL sebelumnya (dari 20.9 GW menjadi 17 GW) [5], [6]. Ini adalah pembingkaian menipu berupaya menutupi de-eskalasi komitmen nyata terhadap energi terbarukan. Dengan berfokus pada peningkatan relatif (persentase) sambil mengurangi target absolut pemerintah dapat mengklaim kemajuan tanpa melakukan penyebaran agresif diperlukan. Strategi ini semakin terungkap kesenjangan signifikan antara target RUPTL dan komitmen internasional seperti JETP CIPP [6]. Pendekatan menipu ini mengikis kepercayaan di antara para pemangku kepentingan menyesatkan publik dan pada akhirnya memperlambat laju transisi energi diperlukan. Ini membuat pencapaian tujuan iklim jangka panjang semakin sulit. Hal ini menunjukkan perhitungan politik memprioritaskan persepsi publik menguntungkan dan pengelolaan ekspektasi daripada mempercepat pergeseran dari bahan bakar fosil secara sungguh-sungguh.

Untuk memperlihatkan paradoks ini Tabel 2 menyajikan perbandingan target EBT antara kedua RUPTL:

Tabel 2: Analisis Perbandingan Target EBT: RUPTL 2021-2030 vs RUPTL 2025-2034 (GW Absolut dan Persentase)

KategoriRUPTL 2021-2030RUPTL 2025-2034Catatan Perbandingan (hingga 2030)
Total Target Kapasitas Baru (GW)40.6 [3], [4]69.5 [1], [9], [16]Peningkatan total kapasitas direncanakan.
Target EBT (GW Absolut pada 2030)20.9 [3], [4], [5]17.0 [5], [6]Penurunan target EBT absolut sebesar 3.9 GW pada tahun 2030.
Porsi EBT (% dari total kapasitas baru)51.6% [3], [4]61% [1], [9], [16]Peningkatan persentase, namun dengan target absolut lebih rendah untuk 2030.

Tabel ini secara jelas menunjukkan meskipun ada peningkatan persentase EBT volume absolut kapasitas EBT baru ditargetkan untuk tahun 2030 justru menurun. Ini menguatkan argumen adanya paradoks dalam ambisi pemerintah.

B. Komitmen Fosil yang Tak Bergeser dan Absennya Pensiun Dini PLTU

RUPTL 2025-2034 menguraikan peningkatan lebih dari 40% dalam produksi listrik dari batu bara dan gas dari tahun 2024 hingga 2034 [5]. Bahan bakar fosil masih diproyeksikan menyumbang 16.6 GW (24%) dari total kapasitas baru [9], [16]. Ini mencakup 6.3 GW dari batu bara dan 10.3 GW dari gas [17].

Yang lebih krusial RUPTL baru ini masih belum memiliki jalur pensiun dini PLTU jelas [5]. Para kritikus termasuk Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) secara eksplisit menyatakan RUPTL 2025-2034 "belum mengadopsi usulan penghentian bertahap penggunaan batu bara" dan bahkan "malah perpanjang napas batu bara" [6]. Hal ini secara langsung bertentangan dengan visi Presiden Prabowo untuk "masa depan energi bebas fosil dan swasembada pada tahun 2040" [5], [18]. Greenpeace juga mengkritik RUPTL ini karena pemerintah masih mengandalkan energi fosil [32].

Ketergantungan berkelanjutan dan bahkan peningkatan penggunaan bahan bakar fosil khususnya batu bara dalam RUPTL 2025-2034 [5], [9], [16] ditambah ketiadaan jalur pensiun dini batu bara jelas [5], [6] secara kuat menunjukkan pengaruh lobi bahan bakar fosil gigih dan kuat. Meskipun ada tekanan nasional dan internasional untuk dekarbonisasi pemerintah tampaknya tidak mau atau tidak mampu menerapkan kebijakan benar-benar akan menghapus batu bara secara bertahap. Ini mengindikasikan pertimbangan ekonomi jangka pendek kemungkinan terikat pada kontrak ada dan pemain industri kuat mengesampingkan keharusan lingkungan dan iklim jangka panjang. Visi dinyatakan tentang "masa depan bebas fosil" [5], [18] menjadi retorika belaka ketika dihadapkan pada dokumen kebijakan sebenarnya. Ini melanggengkan degradasi lingkungan meningkatkan kerentanan Indonesia terhadap pajak karbon global atau hambatan perdagangan serta berisiko menciptakan warisan aset mangkrak mahal. Hal ini juga merusak kredibilitas Indonesia di panggung internasional terkait komitmen iklimnya berpotensi memengaruhi akses terhadap pembiayaan hijau dan kemitraan.

C. Pengenalan Nuklir: Diversifikasi atau Pengalihan Isu Transisi Energi?

RUPTL 2025-2034 kini secara spesifik mencakup rencana pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Total kapasitas proyeksi hingga 0.5 GW menargetkan pembangkit pertama beroperasi pada tahun 2030 atau paling lambat 2034 [1], [9], [16], [34].

Namun muncul kekhawatiran mengenai kelayakan tenaga nuklir dengan seorang anggota DPR mengakui belum adanya studi kelayakan memadai [19]. Opini publik di Indonesia secara historis cenderung negatif terhadap tenaga nuklir terutama setelah insiden besar seperti Fukushima [20].

Penyertaan tenaga nuklir dalam RUPTL [1], [9], [16], [34] meskipun berpotensi menawarkan energi rendah karbon skala besar jangka panjang menimbulkan pertanyaan tentang kepraktisan jangka pendeknya. Ini mengingat tidak adanya studi kelayakan komprehensif dan kekhawatiran publik historis [19], [20]. Waktu tunggu panjang biaya modal tinggi dan kerangka peraturan kompleks terkait tenaga nuklir berarti ia tidak dapat mengatasi tantangan transisi energi mendesak Indonesia dalam jangka pendek. Ini khususnya kebutuhan untuk dengan cepat meningkatkan teknologi energi terbarukan terbukti dan siap pakai seperti surya dan angin. Inklusinya mungkin berfungsi sebagai pengalih perhatian strategis dari kegagalan pemerintah terus-menerus dalam mempercepat energi terbarukan lebih mudah diterapkan. Ini mengalihkan perhatian dan berpotensi sumber daya dari solusi lebih mendesak dan berdampak. Hal ini dapat menyebabkan alokasi sumber daya dan kemauan politik yang salah. Ini memperlambat penyebaran teknologi energi terbarukan lebih matang dan hemat biaya. Ini juga berisiko mengikat negara pada jalur energi berisiko tinggi dan berbiaya tinggi tanpa uji tuntas memadai.

D. 'Green Super Grid': Ambisi Infrastruktur di Tengah Kegagalan Implementasi EBT

RUPTL 2025-2034 memperkenalkan konsep ambisius "Green Super Grid." Ini adalah jaringan transmisi hijau berskala besar sepanjang 47.758 kilometer sirkuit diklaim akan menjadi tulang punggung distribusi listrik EBT dari daerah terpencil ke pusat-pusat permintaan tinggi [1]. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menekankan perlunya infrastruktur ini karena potensi EBT jauh dari pusat konsumsi. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyatakan "tidak ada transisi energi tanpa transmisi" [1]. Selain itu PLN juga berencana membangun gardu induk berkapasitas 107.950 MVA dan mengembangkan "Smart Grid" untuk mengatasi intermitensi EBT variabel seperti PLTS dan PLTB. Total investasi transmisi dan gardu induk diperkirakan mencapai Rp565.3 triliun [1].

Namun ambisi infrastruktur ini patut dipertanyakan secara serius mengingat rekam jejak PLN buruk dalam realisasi EBT. Bagaimana mungkin PLN mampu membangun jaringan transmisi raksasa ini ketika target penambahan kapasitas EBT sebelumnya (20.9 GW hingga 2030) hanya terealisasi 1.6 GW hingga pertengahan 2025 [7]? Pembangunan "Green Super Grid" masif ini berisiko menjadi "gajah putih" jika pembangkit EBT seharusnya mengisi jaringan tersebut tidak terwujud. Ini adalah pengalihan fokus cerdik. Alih-alih mengatasi kegagalan fundamental dalam pembangunan pembangkit EBT pemerintah justru mengalihkan perhatian pada infrastruktur transmisi megah.

Secara finansial investasi Rp565.3 triliun untuk transmisi dan gardu induk [1] menambah beban keuangan sudah sangat berat bagi PLN dan negara. Di tengah masalah kelebihan pasokan dan beban "Take or Pay" membengkak hingga Rp429 triliun pada 2030 [6], [12] pertanyaan besar muncul. Dari mana dana sebesar ini akan berasal tanpa membebani APBN atau menaikkan tarif listrik bagi rakyat? Ini menunjukkan pola pengeluaran tidak bertanggung jawab di mana proyek-proyek ambisius diumumkan tanpa solusi finansial transparan dan berkelanjutan.

Lebih lanjut konsep "Smart Grid" kompleks mengintegrasikan PLTB PLTS BESS pumped storage dan HVDC [1] menambah lapisan kerumitan teknis. Mengingat hambatan regulasi dan kurangnya koordinasi antar kementerian telah menghambat implementasi proyek sebelumnya [13], [26] kemampuan PLN mengelola proyek infrastruktur digital dan terintegrasi sebesar ini sangat diragukan. Ini adalah janji teknologi canggih berpotensi gagal di tengah masalah tata kelola dan eksekusi kronis. "Green Super Grid" ini pada akhirnya tampak lebih sebagai narasi "greenwashing" mahal dirancang untuk menciptakan ilusi kemajuan tanpa mengatasi akar masalah transisi energi Indonesia.

IV. Beban Anggaran dan Implikasi Keuangan: Tanggung Jawab yang Terabaikan

A. Peningkatan Beban Keuangan Negara dan PLN

Kelebihan pasokan listrik yang ada dan kontrak jangka panjang terutama dengan pembangkit listrik tenaga fosil telah menyebabkan peningkatan signifikan dalam beban "Take or Pay" (ToP). Proyeksi menunjukkan peningkatan dari Rp 317 triliun menjadi Rp 429 triliun pada tahun 2030. Ini berarti tambahan beban sebesar Rp 112 triliun bagi negara [12]. Hal ini secara langsung memengaruhi Biaya Pokok Penyediaan (BPP) dan pada akhirnya meningkatkan harga listrik bagi konsumen serta membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) [12].

Situasi kelebihan pasokan diperparah berlanjutnya operasi pembangkit listrik tenaga fosil yang ada [3], [8] merupakan inefisiensi finansial substansial. PLN terpaksa membayar kapasitas tidak sepenuhnya dimanfaatkan. Ini menyebabkan tekanan finansial.

Beban "Take or Pay" meningkat [12] bukanlah biaya tidak disengaja. Itu adalah konsekuensi langsung dari kegagalan perencanaan sistemik khususnya proyeksi permintaan tidak akurat [3], [14] dan komitmen berkelanjutan terhadap proyek bahan bakar fosil meskipun ada kelebihan pasokan [8]. Biaya ini secara efektif merupakan subsidi tersembunyi untuk pembangkit listrik tenaga fosil tidak efisien. Ini ditransfer langsung dari neraca PLN ke anggaran negara (APBN) dan pada akhirnya ditanggung pembayar pajak dan konsumen [12]. Ini mengungkapkan ketidaksesuaian mendalam antara perencanaan energi dan tanggung jawab fiskal. Komitmen politik atau kontraktual terhadap infrastruktur bahan bakar fosil yang ada mengesampingkan kehati-hatian ekonomi. Model finansial tidak berkelanjutan ini membahayakan stabilitas finansial PLN. Ini membatasi kapasitasnya berinvestasi pada teknologi berorientasi masa depan seperti EBT. Ini juga menciptakan hambatan signifikan bagi pembangunan ekonomi nasional. Hal ini menyoroti kurangnya akuntabilitas atas konsekuensi finansial dari perencanaan buruk dan inkonsistensi kebijakan.

B. Pendanaan EBT yang Tidak Memadai dan Ketidakpastian Investasi

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pendanaan untuk pengembangan energi terbarukan (EBT) "belum memadai". BPK mengutip "keterbatasan operator listrik untuk mendanai pembangunan pembangkit energi terbarukan" [22]. Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat proyek-proyek EBT "jalan di tempat" karena kebijakan lemah dan kurangnya komitmen kuat dari pemerintah [15]. Realisasi proyek EBT hingga akhir tahun 2025 kemungkinan hanya mencapai 2 GW jauh di bawah target [15].

Pengembangan EBT berhasil membutuhkan "ekosistem regulasi dan kebijakan memfasilitasi investasi perjanjian jual beli listrik bankable dan dukungan berkelanjutan dari lembaga keuangan domestik dan luar negeri" [10]. Elemen-elemen ini jelas kurang.

Masalah pendanaan EBT tidak memadai [22] dan stagnasi proyek diakibatkannya [15] bukanlah masalah terisolasi melainkan gejala dari kelemahan kebijakan sistemik lebih dalam. Investor baik domestik maupun internasional membutuhkan kepastian regulasi tarif menarik dan dapat diprediksi serta perjanjian jual beli listrik kuat dan bankable [10] untuk mengalokasikan modal besar dibutuhkan untuk proyek EBT. Ketika elemen-elemen fundamental ini tidak ada tidak konsisten atau terus berubah kepercayaan investasi terkikis. Ini menciptakan lingkaran setan di mana kelemahan kebijakan secara langsung berujung pada kurangnya realisasi proyek yang selanjutnya merusak target EBT dan kredibilitas agenda transisi energi. Ini menunjukkan kegagalan mendasar pemerintah menciptakan lingkungan kondusif bagi partisipasi sektor swasta dalam EBT. Ini memaksa PLN menanggung beban finansial tidak berkelanjutan atau gagal memenuhi target. Hal ini menyoroti ambisi pemerintah dinyatakan untuk EBT tidak didukung mekanisme finansial dan regulasi diperlukan membuat transisi sebagian besar bergantung pada janji modal swasta tidak terpenuhi.

C. Subsidi Energi dan Ketimpangan Manfaat

Salah satu kritik utama terhadap subsidi energi di Indonesia khususnya untuk bahan bakar fosil (BBM) adalah distribusinya tidak merata. Subsidi ini secara tidak proporsional lebih banyak dinikmati masyarakat kelas menengah ke atas dan sektor industri besar yang memiliki konsumsi energi lebih tinggi [23].

Subsidi semacam itu secara artifisial menurunkan biaya bahan bakar fosil. Ini membuat sumber energi terbarukan kurang kompetitif dan menghambat investasi pada alternatif lebih bersih. Ini menciptakan distorsi pasar secara aktif bekerja melawan tujuan transisi energi dinyatakan.

Kelanjutan subsidi bahan bakar fosil substansial [23] merupakan kontradiksi langsung terhadap komitmen pemerintah dinyatakan untuk transisi energi dan aksi iklim. Dengan membuat bahan bakar fosil secara artifisial lebih murah subsidi ini menghambat investasi dan adopsi energi terbarukan sehingga memperlambat transisi. Lebih lanjut fakta bahwa subsidi ini secara tidak proporsional menguntungkan segmen lebih kaya dan industri besar [23] menunjukkan kebijakan fiskal regresif memperburuk ketidaksetaraan sosial sambil merusak tujuan lingkungan. Ini mengindikasikan ketidakselarasan mendasar antara prioritas fiskal pemerintah dan tujuan transisi energinya. Pertimbangan politik jangka pendek (misalnya mempertahankan harga bahan bakar) mengesampingkan keberlanjutan jangka panjang. Komitmen finansial pemerintah secara efektif menopang sumber energi diklaim akan ditinggalkan. Ini menciptakan hambatan finansial dan kebijakan signifikan untuk transisi benar-benar "hijau" dan adil.

D. Risiko Proyek Mangkrak dan Beban Fiskal Baru

Para kritikus memperingatkan proyek-proyek EBT skala besar jika tidak didukung desain sistem kuat (termasuk transmisi baru penyimpanan energi dan kepastian pasar) berisiko menjadi "aset mangkrak" [24]. Ini berarti investasi dalam proyek-proyek ini dapat menjadi tidak layak secara ekonomi dan mengakibatkan kerugian finansial signifikan.

Kegagalan dalam merancang dan mengimplementasikan proyek EBT dengan benar atau ketergantungan berkelanjutan pada pembangkit listrik tenaga fosil tidak efisien dapat menciptakan "beban fiskal baru" bagi negara [24]. Ini menyiratkan biaya defisiensi perencanaan saat ini dan proyek tidak terpenuhi pada akhirnya akan terwujud sebagai kewajiban finansial bagi pemerintah.

Peringatan tentang proyek EBT berpotensi menjadi "aset mangkrak" dan menciptakan "beban fiskal baru" [24] merupakan implikasi jangka panjang kritis dari pendekatan kebijakan saat ini. Risiko ini muncul dari kurangnya perencanaan holistik mempertimbangkan tidak hanya kapasitas pembangkitan tetapi juga infrastruktur jaringan diperlukan (transmisi penyimpanan) dan mekanisme pasar (kepastian pembeli) [24]. Ketika proyek dimulai tanpa elemen pendukung krusial ini mereka rentan terhadap kegagalan menyebabkan kerugian finansial signifikan pada akhirnya akan ditanggung negara. Ini menyoroti cacat mendasar dalam penilaian risiko pemerintah dan perencanaan finansial jangka panjang untuk sektor energi. Hal ini menunjukkan strategi energi pemerintah saat ini jauh dari menjamin keamanan dan keberlanjutan energi mungkin secara tidak sengaja mengikat negara pada proyek-proyek gajah putih mahal dan krisis fiskal di masa depan. Ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan pendekatan lebih terintegrasi transparan dan berhati-hati secara finansial untuk perencanaan energi.

V. Kesimpulan dan Rekomendasi: Menuju Transisi Energi yang Berkeadilan dan Berkelanjutan

A. Ringkasan Argumen Utama

Analisis RUPTL 2021-2030 dan 2025-2034 mengungkap pola konsisten. Target energi terbarukan terlalu ambisius dan secara konsisten tidak terealisasi. Ini ditambah ketergantungan gigih dan bahkan meningkat pada bahan bakar fosil khususnya batu bara. Inkonsistensi kebijakan ini diperburuk masalah tata kelola sistemik termasuk ketidakpastian regulasi dan koordinasi antar kementerian buruk. Hal ini menghambat investasi swasta krusial dalam EBT.

Implikasi finansialnya sangat parah. Beban "Take or Pay" meningkat pendanaan EBT tidak memadai dan subsidi bahan bakar fosil regresif. Semua ini membebani anggaran negara dan pada akhirnya masyarakat. Risiko aset mangkrak dan krisis fiskal di masa depan membayangi. "Ambisi" pemerintah dalam RUPTL 2025-2034 tampaknya merupakan penjenamaan ulang menipu. Ini mengurangi target EBT absolut sambil mempertahankan ketergantungan pada bahan bakar fosil yang bertentangan dengan komitmen iklim nasional dan internasional.

B. Rekomendasi

Untuk mengatasi kegagalan dan inkonsistensi telah diuraikan serta untuk benar-benar memajukan transisi energi adil dan berkelanjutan laporan ini merekomendasikan langkah-langkah kritis berikut:

Revisi RUPTL 2025-2034 untuk Target EBT yang Lebih Agresif dan Realistis:

  • Diperlukan revisi fundamental RUPTL 2025-2034 untuk menetapkan target GW absolut secara tulus lebih tinggi untuk energi terbarukan. Ini harus selaras dengan komitmen internasional seperti JETP CIPP [6], [30] dan batas pemanasan global 1.5∘C.
  • Pastikan target-target ini didukung rencana implementasi kuat transparan dan dapat ditindaklanjuti. Ini melampaui sekadar persentase ke linimasa proyek dan strategi pembiayaan konkret.

Jalur Pensiun Dini PLTU yang Jelas dan Mengikat:

  • Terapkan jalur pensiun dini batu bara definitif dan agresif termasuk linimasa dan mekanisme jelas untuk pensiun dini PLTU yang ada daripada memperpanjang masa pakainya [5], [6].
  • Atasi implikasi finansial dari pensiun dini melalui mekanisme kompensasi transparan dan adil. Ini tidak secara tidak proporsional membebani negara atau konsumen.

Reformasi Pembiayaan EBT dan Penghentian Subsidi Fosil yang Regresif:

  • Bangun mekanisme pembiayaan transparan memadai dan inovatif secara khusus untuk proyek EBT. Ini mengatasi masalah "belum memadai" diidentifikasi BPK [22]. Ini mencakup tarif menarik dan stabil perjanjian jual beli listrik bankable dan kerangka investasi jelas [10].
  • Hentikan secara bertahap subsidi bahan bakar fosil regresif secara tidak proporsional menguntungkan kaum kaya dan industri besar [23]. Alihkan dana ini untuk mendukung pengembangan EBT dan program sosial ditargetkan untuk akses energi.

Penguatan Tata Kelola dan Koordinasi Lintas Sektor:

  • Atasi masalah sistemik ketidakpastian regulasi dan kurangnya koordinasi antar kementerian [13]. Ini membutuhkan visi terpadu kerangka kebijakan konsisten dan mekanisme penegakan efektif di seluruh badan pemerintah relevan.
  • Tingkatkan transparansi dalam perencanaan energi dan proses pengambilan keputusan. Ini memungkinkan pengawasan publik dan pemangku kepentingan lebih besar.

Peningkatan Akuntabilitas dan Pengawasan Publik:

  • Tetapkan metrik jelas untuk akuntabilitas PLN dan kementerian pemerintah terkait dalam memenuhi target RUPTL.
  • Perkuat peran pengawasan parlemen (DPR) dan organisasi masyarakat sipil dalam memantau implementasi kebijakan dan pengeluaran energi [24].
  • Pastikan biaya kelebihan pasokan dan perencanaan tidak efisien tidak hanya dibebankan kepada konsumen atau anggaran negara tanpa justifikasi dan akuntabilitas tepat.

Melalui penerapan rekomendasi ini Indonesia dapat beralih dari pola janji tidak terpenuhi dan kebijakan kontradiktif menuju jalur transisi energi benar-benar berkelanjutan dan adil. Ini mengamankan masa depan energi lebih hijau dan stabil bagi seluruh rakyatnya.

Daftar Pustaka

[1] PT PLN (Persero). (2025, Juni). RUPTL 2025-2034 PLN Siap Bangun Green Super Grid Sepanjang 47.758 Kms. Diperoleh dari https://web.pln.co.id/media/siaran-pers/2025/06/ruptl-2025-2034-pln-siap-bangun-green-super-grid-sepanjang-47-758-kms

[2] PT PLN (Persero). (2021). PLN Company Profile. Jakarta: PT PLN (Persero).

[3] Institute for Essential Services Reform (IESR). (2021). RUPTL 2021-2030: Lebih Hijau atau Sekadar Retorika?. Jakarta: IESR.

[4] PT PLN (Persero). (2021). Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Jakarta: PT PLN (Persero).

[5] Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA). (2024). Indonesia's Energy Ambitions: A Critical Review of RUPTL 2025-2034. Helsinki: CREA.

[6] Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA). (2024). Indonesia's Updated Power Sector Plan 2025-2034 Undermines Clean Energy Ambition. Diperoleh dari https://www.energyandcleanair.org/publication/indonesias-updated-power-sector-plan-2025-2034-undermines-clean-energy-ambition/

[7] Institute for Essential Services Reform (IESR). (2025). Progres Transisi Energi Indonesia: Studi Kasus PLTS dan PLTA. Jakarta: IESR.

[8] Trend Asia. (2022). Menyoroti Ketergantungan Batubara dalam RUPTL 2021-2030. Jakarta: Trend Asia.

[9] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2024). Paparan RUPTL 2025-2034. Jakarta: Kementerian ESDM.

[10] World Bank. (2022). Indonesia Energy Transition Roadmap. Washington DC: World Bank.

[11] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2021). Peraturan Menteri ESDM No. 9 Tahun 2021 tentang Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. Jakarta: Kementerian ESDM.

[12] Institute for Essential Services Reform (IESR). (2023). Beban Take or Pay dan Oversupply Listrik di Indonesia. Jakarta: IESR.

[13] Transparency International Indonesia. (2023). Corruption Risks in Indonesia's Infrastructure Sector. Jakarta: Transparency International Indonesia.

[14] International Energy Agency (IEA). (2022). Indonesia Energy Outlook 2022. Paris: IEA.

[15] Institute for Essential Services Reform (IESR). (2024). Investasi EBT di Indonesia: Tantangan dan Prospek. Jakarta: IESR.

[16] PT PLN (Persero). (2024). Draft Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Jakarta: PT PLN (Persero).

[17] Greenpeace Indonesia. (2024). Analisis Kritis RUPTL 2025-2034: Risiko Penguncian Energi Fosil. Jakarta: Greenpeace Indonesia.

[18] Prabowo Subianto. (2024). Visi Energi Indonesia 2040. Pidato dalam Forum Energi Nasional.

[19] Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). (2024). Rapat Dengar Pendapat Mengenai Proyek Nuklir dalam RUPTL. Jakarta: DPR RI.

[20] Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (PSE UGM). (2015). Persepsi Publik Terhadap Energi Nuklir di Indonesia. Yogyakarta: PSE UGM.

[21] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2021). Capaian Bauran EBT Indonesia Triwulan III 2021. Jakarta: Kementerian ESDM.

[22] Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). (2023). Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pendanaan Energi Terbarukan. Jakarta: BPK.

[23] Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Trend Asia. (2023). Ambiguities versus Ambition. Helsinki: CREA. Diperoleh dari https://energyandcleanair.org/wp/wp-content/uploads/2023/03/CREA_Trend-Asia_EN_Ambiguities-versus-Ambition.pdf

[24] Open Parliament Indonesia. (2022). Polbrief RUEN dan RUED. Jakarta: Open Parliament Indonesia. Diperoleh dari https://energihijau.openparliament.id/wp-content/uploads/2022/03/Polbrief_ruen-dan-rued.pdf

[25] P. S. Purnomo, I. A. D. Giriantari, dan I. N. S. Kumara. (2021). "Studi Pengurangan Emisi Karbon Sistem Ketenagalistrikan Provinsi Bali: Analisis RUPTL 2021-2030". Jurnal SPEKTRUM, vol. 10, no. 1.

[26] A. Endawansa. (2025, Mei). RUPTL 2025–2034 dan Ujian Nyata Transisi Energi di Indonesia. Diperoleh dari https://m.kumparan.com/althof-endawansa/ruptl-2025-2034-dan-ujian-nyata-transisi-energi-di-indonesia-25AUWXGQOCJ

[27] PT PLN (Persero). (2021). Diseminasi RUPTL 2021-2030. Diperoleh dari https://web.pln.co.id/statics/uploads/2021/10/materi-diseminasi-2021-2030-publik.pdf

[28] Katadata. (2025, Juni). CREA: RUPTL Terbaru Melemahkan Ambisi untuk Energi Bersih. Diperoleh dari https://katadata.co.id/ekonomi-hijau/energi-baru/684a5a68c8f1e/crea-ruptl-terbaru-melemahkan-ambisi-untuk-energi-bersih

[29] Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan. (2025). Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT. PLN (Persero). Diperoleh dari https://gatrik.esdm.go.id/frontend/download_index/?kode_category=ruptl_pln

[30] Tenggara Strategics. (2024). Naskah Kebijakan JETP. Diperoleh dari https://asset.tenggara.id/assets/source/file-research/Renewable/%20Naskah%20Kebijakan%20JETP.pdf

[31] Institute for Essential Services Reform (IESR). (2024). Indonesia Energy Transition Outlook 2025. Jakarta: IESR. Diperoleh dari https://iesr.or.id/wp-content/uploads/2024/12/Indonesia-Energy-Transition-Outlook-2025-Digital-Version.pdf

[32] Greenpeace Indonesia. (2025, Mei). Greenpeace Kritik RUPTL 2025-2034: Pemerintah Masih Andalkan Energi Fosil. Diperoleh dari https://www.tempo.co/ekonomi/greenpeace-kritik-ruptl-2025-2034-pemerintah-masih-andalkan-energi-fosil-1583519

[33] M. H. N. (2023). Kebijakan Energi Nasional: Analisis Domestic Market Obligation Batu Bara dan Energi Terbarukan. Diperoleh dari https://mhn.bphn.go.id/index.php/MHN/article/download/944/122/

[34] Katadata. (2025, Mei). 7 Poin Penting RUPTL PLN 2025-2034 Pembangunan PLTN hingga Rincian Investasi. Diperoleh dari https://katadata.co.id/berita/energi/68350ec5a90b9/7-poin-penting-ruptl-pln-2025-2034-pembangunan-pltn-hingga-rincian-investasi

[35] Tempo. (2025, Mei). Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2025-2034 Dinilai Membingungkan Investor. Diperoleh dari https://www.tempo.co/ekonomi/rencana-usaha-penyediaan-tenaga-listrik-2025-2034-dinilai-membingungkan-investor-1563446

[36] Baker McKenzie. (2021). PLN's 2021-2030 Electricity Supply Business Plan (RUPTL) Approved. Diperoleh dari https://insightplus.bakermckenzie.com/bm/attachment_dw.action?attkey=FRbANEucS95NMLRN47z%2BeeOgEFCt8EGQJsWJiCH2WAUTleh6%2BAJHrupJMOqEcbrp&nav=FRbANEucS95NMLRN47z%2BeeOgEFCt8EGQbuwypnpZjc4%3D&attdocparam=pB7HEsg%2FZ312Bk8OIuOIH1c%2BY4beLEAeghVfJ1aYVlM%3D&fromContentView=1

[37] YRDCPCN. (2024, Oktober). Kritik terhadap lambatnya instalasi PLTS di Indonesia. Diperoleh dari http://www.yrdcpcn.com/upload/2024/1018/9c666677-06c0-4d1e-94a1-7551b028b489.pdf

[38] DPR RI. (2025, Juni). Info Singkat: RUPTL 2025–2034. Diperoleh dari https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-XVII-11-I-P3DI-Juni-2025-245-EN.pdf

[39] CREA. (2025, Mei). Biomass co-firing in Indonesia. Diperoleh dari https://energyandcleanair.org/wp/wp-content/uploads/2025/05/ID-IDN-Biomass-co-firing-in-Indonesia.pdf