Studi Dampak Early Retirement PLTU Terhadap Sistem Tenaga Listrik
Abstrak – Untuk memenuhi komitmen Net Zero Emission (NZE), pemerintah Indonesia mendorong pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan menggantinya dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Studi ini menginvestigasi dampak teknis dari penggantian PLTU G04 (800 MVA) dengan PLTS berkapasitas setara pada sistem uji IEEE 39 Bus. Penelitian ini menggunakan simulasi pada DigSilent PowerFactory untuk melakukan analisis aliran daya statis dan analisis stabilitas frekuensi dinamis. Empat skenario dianalisis, yaitu kondisi eksisting dan kondisi pasca-transisi (PLTS) pada Beban Puncak Siang (BPS) dan Beban Puncak Malam (BPM). Gangguan dinamis berupa peningkatan beban 5% disimulasikan untuk menguji respons frekuensi. Hasil analisis aliran daya menunjukkan skenario PLTS Malam (BPM) menyebabkan overloading tinggi pada generator tersisa (G01/G09) dan saluran transmisi (Line 21-22 mencapai 127,4%). Analisis dinamis menunjukkan hilangnya inersia G04 memperburuk frekuensi nadir pada skenario BPS (59,43 Hz). Pada skenario BPM, sistem mengalami keruntuhan frekuensi total (nadir 46,93 Hz) akibat cadangan governor yang habis dan hilangnya inersia. Penggantian PLTU dengan PLTS dalam rasio kapasitas 1:1 terbukti tidak layak secara teknis dan tidak andal. Transisi ini menyebabkan ketidakstabilan statis (overloading) dan dinamis (keruntuhan frekuensi) pada kondisi beban puncak malam, yang mengindikasikan perlunya strategi mitigasi seperti BESS atau synchronous condenser.
Latar Belakang
Perubahan iklim telah menjadi isu sentral global yang mendorong transformasi signifikan di sektor energi [1]. Didorong oleh kesepakatan internasional seperti Persetujuan Paris (Paris Agreement), banyak negara telah menetapkan target ambisius untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada pertengahan abad ini [2]. Sektor ketenagalistrikan, sebagai salah satu kontributor emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar, berada di garis depan transisi ini [3].
Laporan dari badan-badan internasional seperti International Energy Agency (IEA) konsisten menunjukkan bahwa dekarbonisasi sistem tenaga listrik adalah langkah krusial [2]. Hal ini memicu pergeseran global dari pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil, terutama batu bara, menuju sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) [4]. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atau fotovoltaik (PV) telah muncul sebagai salah satu solusi EBT yang paling cepat berkembang dan paling kompetitif secara ekonomi di banyak belahan dunia [1].
Namun, transisi ini menghadirkan tantangan teknis yang signifikan. Pembangkit listrik konvensional (seperti PLTU) adalah pembangkit sinkron yang menyediakan layanan esensial bagi kestabilan jaringan, seperti inersia (ketahanan terhadap perubahan frekuensi) dan daya reaktif. Sebaliknya, PLTS adalah pembangkit berbasis inverter (Inverter-Based Resource/IBR) yang memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Integrasi PLTS dalam skala besar, terutama untuk menggantikan pembangkit sinkron yang dipensiunkan, menimbulkan pertanyaan kritis mengenai keandalan dan stabilitas operasi sistem tenaga listrik, terutama terkait stabilitas frekuensi dan tegangan [5].
Sejalan dengan tren global, Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat [6]. Komitmen ini menuntut restrukturisasi besar-besaran dalam bauran energi nasional, yang saat ini masih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara [7]. PLTU telah lama menjadi tulang punggung pasokan listrik di Indonesia karena biayanya yang rendah dan ketersediaan bahan bakarnya (batu bara) yang melimpah.
Untuk memenuhi komitmen NZE, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan strategis, termasuk Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik [8]. Salah satu mandat utama dari regulasi ini adalah percepatan pensiun dini (early retirement) PLTU [9]. Regulasi tersebut secara spesifik menyebutkan bahwa penggantian energi listrik dapat dilakukan dengan pembangkit EBT [10].
Sementara itu, potensi PLTS di Indonesia sangat besar, mencapai ribuan Gigawatt (GW) karena lokasinya di garis khatulistiwa [11]. Oleh karena itu, PLTS skala besar diproyeksikan menjadi pengganti utama bagi kapasitas PLTU yang dipensiunkan, sejalan dengan rencana pemerintah untuk terus memperluas akses energi surya [12]. Namun, menggantikan pembangkit sinkron (PLTU) dengan pembangkit berbasis inverter (PLTS) secara langsung bukanlah proses yang sederhana. Tantangan utamanya adalah intermitensi (sifat tidak kontinu) dari PLTS, yang sangat bergantung pada kondisi cuaca dan siklus siang-malam [13]. Hal ini menjadi tantangan utama dalam skenario penelitian ini: pada Beban Puncak Siang (BPS), PLTS dapat beroperasi dengan kapasitas penuh, namun pada Beban Puncak Malam (BPM), produksinya turun menjadi nol.
Rumusan Masalah
Kebijakan pensiun dini diasumsikan menggunakan PLTU G04 (800 MVA) pada IEEE-39 BUS dan penggantiannya dengan PLTS berkapasitas sama di Bus 16. Langkah ini menimbulkan tantangan teknis lainnya, mengingat PLTS memiliki karakteristik operasional yang sangat berbeda dari PLTU, terutama terkait produksinya yang optimal pada Beban Puncak Siang (BPS) namun berhenti total pada Beban Puncak Malam (BPM). Oleh karena itu, praktikum ini berfokus pada permasalahan mengenai bagaimana penggantian pembangkit sinkron (PLTU) dengan pembangkit berbasis inverter (PLTS) ini memengaruhi kondisi operasional sistem IEEE 39 bus. Masalah utamanya adalah menganalisis perubahan pada kondisi statis (aliran daya), seperti pembebanan generator dan saluran , serta dampaknya terhadap kondisi dinamis, khususnya stabilitas frekuensi sistem ketika merespons gangguan mendadak pada kedua skenario beban tersebut.
Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk melakukan analisis sistem transmisi guna mengevaluasi dampak pensiun dini PLTU G04 dan penggantiannya dengan PLTS pada sistem IEEE 39 bus. Evaluasi ini mencakup dua aspek utama. Pertama, melakukan simulasi dan analisis kondisi statis (aliran daya) untuk membandingkan kondisi awal sistem dengan kondisi pasca-transisi pada skenario Beban Puncak Siang (BPS) dan Beban Puncak Malam (BPM). Analisis statis ini bertujuan mengidentifikasi perubahan pembebanan generator, aliran daya saluran, dan potensi terjadinya overloading. Kedua, melakukan simulasi dan analisis kondisi dinamis dengan memberikan event peningkatan beban 5% secara tiba-tiba. Analisis dinamis ini bertujuan untuk meninjau dan membandingkan stabilitas frekuensi sistem antara kondisi awal dan setelah penggantian pembangkit pada kedua skenario beban.
Material dan Metode
Untuk menganalisis dampak pensiun dini PLTU terhadap sistem tenaga listrik, diperlukan metode analisis yang terstruktur. Praktikum ini menggunakan aplikasi DigSilent PowerFactory untuk menganalisis dampak tersebut. Bagian ini dibagi menjadi dua tahap, yakni; (1) penjelasan mengenai cara memasukkan parameter jaringan agar dapat disimulasikan, dan (2) penjelasan mengenai metode analisis yang digunakan pada PowerFactory.
A. Material yang Digunakan
1) IEEE 39 BUS TEST CASE
Dalam penelitian ini, analisis dampak pensiun dini PLTU disimulasikan menggunakan perangkat lunak DigSilent PowerFactory. Sebagai sistem uji (test system), digunakan model standar IEEE 39-Bus New England System seperti pada Gambar dibawah ini.

2) Pemensiunan Pembangkit
Unit pembangkit yang akan dipensiunkan adalah G04, sebuah PLTU dengan kapasitas sebesar 800 MVA. Berdasarkan diagram satu-garis, G 04 terhubung ke Bus 33 dan tersambung ke jaringan transmisi di Bus 19 melalui transformator step-up tegangan (Trf Type 19 - 33). Untuk mengevaluasi dampak ini, sebuah Circuit Breaker (CB) digunakan untuk mengendalikan dua kondisi simulasi. Kondisi eksisting (sebelum pensiun) disimulasikan dengan menjaga CB dalam posisi tertutup (closed), di mana G 04 beroperasi normal dan menyuplai daya ke sistem. Sementara itu, skenario sesudah pensiun dini disimulasikan dengan mengubah status CB menjadi terbuka (open) sehingga melepaskan G 04 dari jaringan dan menciptakan kontingensi berupa kehilangan suplai daya (loss of generation) sebesar 800 MVA.
3) Penambahan PLTS
Sebagai pengganti kapasitas PLTU G04 yang hilang, ditambahkan sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar. Sesuai dengan data skenario, PLTS ini dikoneksikan ke sistem pada Bus 16 dan dirancang untuk memiliki kapasitas total 800 MVA, yang setara dengan kapasitas pembangkit yang dipensiunkan. Kapasitas total tersebut dicapai dengan menggabungkan 1000 unit inverter yang beroperasi secara paralel, di mana setiap unit inverter memiliki Rated apparent power (daya semu terukur) sebesar 800 kVA dan Rated power factor (faktor daya) 0,9.
4) Profil Pembebanan PLTS
Analisis dalam studi ini dibagi menjadi dua skenario kondisi pembebanan, yaitu Beban Puncak Siang (BPS) dan Beban Puncak Malam (BPM). Perbedaan utama dari kedua skenario ini adalah ketersediaan daya dari PLTS. Pada skenario BPS, PLTS siang hari diasumsikan beroperasi dan mampu menghasilkan daya sebesar 0.8 p.u. dari kapasitas terpasangnya (800 MVA), atau setara dengan total 640 MW. Sebaliknya, pada skenario BPM, PLTS disimulasikan tidak menghasilkan daya sama sekali (0 p.u.) untuk merepresentasikan kondisi malam hari.
5) Transformator Step-Up PLTS
Untuk mengintegrasikan daya dari PLTS ke jaringan transmisi utama, diperlukan sebuah transformator step-up. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan level tegangan yang signifikan antara keluaran sistem inverter PV dan jaringan. Sistem PV (yang terdiri dari 1000 inverter paralel) beroperasi pada level tegangan rendah 0,4 kV (sisi LV). Sementara itu, titik interkoneksi pada gardu induk, yakni Bus 16, merupakan bagian dari jaringan transmisi tegangan tinggi 345 kV (sisi HV). Gambar 4 menggambarkan topologi koneksi ini, di mana sistem PV terhubung ke sisi LV transformator, yang kemudian menaikkan tegangan ke 345 kV sebelum terhubung ke Bus 16. Parameter teknis pada gambar merinci bahwa transformator 2-Winding yang digunakan memiliki kapasitas daya 1000 MVA, reaktansi 0,03 p.u., dan konfigurasi Vector Group YNyn0.
6) Profil Beban
Untuk studi analisis ini, profil pembebanan sistem dibedakan menjadi dua kondisi utama, yakni Beban Puncak Siang (BPS) dan Beban Puncak Malam (BPM). Nilai spesifik untuk konsumsi daya aktif (MW) dan daya reaktif (MVAr) dari setiap beban pada kedua kondisi tersebut diatur secara rinci dalam Tabel 1 (Profil Beban Siang dan Malam). Guna mengelola dan menerapkan profil beban yang berbeda ini dalam perangkat lunak, digunakan fitur Operation Scenarios. Skenario-skenario dasar ("BEBAN PUNCAK SIANG" dan "BEBAN PUNCAK MALAM") telah dibuat, yang kemudian digunakan sebagai landasan untuk menjalankan kasus simulasi dinamis yang relevan, seperti "BEBAN PUNCAK SIANG(dyn)" dan "BEBAN PUNCAK MALAM(dyn)".
| Beban | BPS MW | BPS MVAr | BPM MW | BPM MVAr |
| Load 03 | 257.6 | 1.92 | 322 | 2.4 |
| Load 04 | 400 | 147.2 | 500 | 184 |
| Load 07 | 187.04 | 67.2 | 233.8 | 84 |
| Load 08 | 417.6 | 140.8 | 522 | 176 |
| Load 12 | 6 | 70.4 | 7.5 | 88 |
| Load 15 | 256 | 122.4 | 320 | 153 |
| Load 16 | 263.2 | 25.84 | 329 | 32.3 |
| Load 18 | 126.4 | 24 | 158 | 30 |
| Load 20 | 502.4 | 82.4 | 628 | 103 |
| Load 21 | 219.2 | 92 | 274 | 115 |
| Load 23 | 198 | 67.68 | 247.5 | 84.6 |
| Load 24 | 246.88 | -73.76 | 308.6 | -92.2 |
| Load 25 | 179.2 | 37.76 | 224 | 47.2 |
| Load 26 | 111.2 | 13.6 | 139 | 17 |
| Load 27 | 224.8 | 60.4 | 281 | 75.5 |
| Load 28 | 164.8 | 22.08 | 206 | 27.6 |
| Load 29 | 226.8 | 21.52 | 283.5 | 26.9 |
| Load 31 | 7.36 | 3.68 | 9.2 | 4.6 |
| Load 39 | 883.2 | 200 | 1104 | 250 |
7) Dynamic Simulation
Untuk menguji stabilitas frekuensi sistem, skenario simulasi dinamis (RMS/EMT) dirancang dengan menyertakan sebuah load event. Gangguan ini berupa peningkatan kebutuhan beban secara tiba-tiba dan serentak pada seluruh jaringan. Pada pengaturan Load Event, metode gangguan yang digunakan adalah "Proportional Load Step". Nilai peningkatan beban proporsional ini diatur sebesar 5% untuk Active Power (daya aktif) dan 5% untuk Reactive Power (daya reaktif) dari kondisi pembebanan awal.
B. Metode Analisis
Metode Analisis yang digunakan pada praktikum ini adalah analisis aliran daya dan analisis stabilitas frekuensi yang dijabarkan sebagai berikut;
1) Analisis Aliran Daya
Analisis aliran daya (power flow analysis) dilakukan untuk menentukan parameter jaringan ketika dilakukan simulasi aliran daya. Parameter tersebut meliputi pembebanan saluran transmisi serta transformator, sekaligus profil tegangan dari gardu induk. Analisis aliran daya ini dilaksanakan menggunakan metode Newton-Raphson. Injeksi daya aktif dan reaktif pada bus i ditunjukkan masing-masing dalam Persamaan (1) dan (2) [17],


dimana P_i dan Q_i masing-masing adalah injeksi bersih daya aktif dan daya reaktif pada bus i. V_i dan V_j adalah magnitudo tegangan pada bus i dan bus j. Sedangkan δ_i dan δ_j mewakili sudut fasa tegangan pada bus i dan bus j. Terakhir, Y_ij adalah magnitudo elemen admitansi dalam matriks Y-bus yang menghubungkan i dan bus j [17].
Hasil dari analisis aliran daya dan kontingensi kemudian dibandingkan dengan standar grid code SPLN (Standar Perusahaan listrik Negara. Pembebanan aliran daya maksimum yang diizinkan dalam kondisi normal adalah 80% dan nilai tegangan yang diizinkan dalam rentang -10% hingga +5% [17].
2) Analisis Stabilitas Frekuensi
Stabilitas frekuensi didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem tenaga listrik untuk mempertahankan frekuensi yang konstan setelah terjadinya gangguan besar, yang mengakibatkan ketidakseimbangan signifikan antara daya pembangkitan dan beban. Respons sebuah generator terhadap ketidakseimbangan antara pembangkitan dan beban diekspresikan dalam persamaan ayunan (swing equation), seperti ditunjukkan pada Persamaan (3) [17],

dimana f adalah frekuensi sistem, f_0 adalah frekuensi awal, H adalah inersia sistem, P_m adalah total daya mekanik, dan P_e adalah total daya listrik yang dihasilkan.
Analisis stabilitas frekuensi dilakukan untuk menentukan titik frekuensi terendah (nadir) saat terjadi gangguan pada sistem. [17] Berdasarkan standar grid code SPLN (Standar Perusahaan listrik Negara, frekuensi nadir yang diizinkan harus berada dalam rentang ± 0.5 Hz dari nilai frekuensi nominal 50 Hz [17].
Hasil dan Pembahasan
Bagian ini memaparkan hasil simulasi dan analisis yang dibagi menjadi dua fokus utama sesuai dengan tujuan studi. Pertama, akan dibahas hasil analisis aliran daya (load flow) untuk mengevaluasi dampak statis dari perubahan konfigurasi sistem. Analisis ini membandingkan (a) kondisi awal sistem (sebelum pensiun dini) dengan (b) kondisi setelah PLTU dipensiunkan dan PLTS ditambahkan. Kedua kondisi tersebut disimulasikan pada skenario Beban Puncak Siang (BPS) dan Beban Puncak Malam (BPM) untuk mengidentifikasi perubahan pembebanan pada generator serta saluran transmisi, dan secara khusus mendeteksi adanya kondisi overloading.
Kedua, pembahasan dilanjutkan dengan analisis stabilitas frekuensi melalui simulasi dinamis (RMS). Pada bagian ini, respons sistem diuji terhadap event gangguan berupa peningkatan daya aktif dan reaktif sebesar 5% secara serentak pada seluruh beban. Sama seperti analisis sebelumnya, stabilitas frekuensi ditinjau pada (a) kondisi awal dan (b) kondisi setelah penggantian pembangkit (PLTU ke PLTS), yang juga dianalisis pada skenario BPS dan BPM. Hasil dari simulasi dinamis ini akan disajikan dalam bentuk plot grafik frekuensi (dimonitor pada gardu induk dengan beban terbesar) dan plot keluaran daya dari seluruh unit generator.
0. Grafik Pengambilan Data



A. Analisis Aliran Daya
Sub-bab ini akan membahas hasil analisis aliran daya statis. Tujuan utamanya adalah menginvestigasi bagaimana transisi dari PLTU G04 ke PLTS memengaruhi profil pembebanan pada generator-generator lain di dalam sistem. Analisis ini didasarkan oleh prinsip fundamental keseimbangan daya. Prinsip ini mengharuskan total daya bangkitan (aktif dan reaktif) selalu sama dengan total konsumsi beban ditambah rugi-rugi daya pada jaringan. Setiap perubahan pada sisi pembangkitan atau beban akan memaksa sistem mencari titik keseimbangan operasional yang baru.
1) Kondisi Eksisting Beban Puncak Siang
Skenario ini merepresentasikan kondisi dasar (existing) sistem saat Beban Puncak Siang (BPS). Gambar 9 menunjukkan bahwa PLTU G04, unit yang akan pensiun, beroperasi aktif dan menyumbang daya signifikan ke jaringan sebesar 552,8 MW. Kontributor terbesar pada skenario ini adalah G01 (874,6 MW), diikuti oleh G09 (725,9 MW). Generator G02 tidak beroperasi (0,0 MW), kemungkinan karena optimasi unit commitment yang memprioritaskan unit dengan biaya marjinal lebih rendah.
Secara teknis, G04 sebagai generator sinkron konvensional tidak hanya menyuplai daya aktif (MW) tetapi juga menyediakan daya reaktif (MVAr) dan inersia yang esensial. Pada kondisi ini, G04 berpartisipasi aktif dalam pengaturan tegangan di sekitar areanya. Sistem menunjukkan profil pembangkitan yang terdistribusi dengan baik, di mana beberapa generator sinkron besar (termasuk G04) berbagi beban, baik beban aktif maupun reaktif. Hal ini menciptakan sistem yang kokoh dengan cadangan daya reaktif yang memadai dan stabilitas tegangan yang terjaga.
Pada kondisi awal ini, governor dari G04 (dan generator lainnya) telah menerima set-point dari Automatic Generation Control (AGC) untuk mempertahankan output 552,8 MW. Governor G04 secara aktif mengatur katup uap (steam valve) untuk memastikan daya mekanis dari turbinnya persis sama dengan daya elektris yang dikirim ke grid, sehingga putarannya (dan frekuensi sistem) terjaga. Selain itu, sebagai generator sinkron konvensional, G04 juga menyediakan dua layanan vital lainnya. Pertama, sistem eksitasinya menyuplai daya reaktif (MVAr) untuk menopang profil tegangan di areanya. Kedua, massa fisiknya yang berputar (turbin dan generator) menyediakan inersia ke sistem, yang penting untuk memperlambat perubahan frekuensi saat terjadi gangguan.
Sedangkan untuk saluran, sistem beroperasi dalam kondisi aman dan terkendali. Aliran daya dari G04 (552,8 MW) dan generator lainnya terdistribusi dengan baik ke seluruh jaringan. Data pada Gambar 10 menunjukkan bahwa saluran dengan pembebanan tertinggi adalah Line 16-19 (78,1%) dan Line 06-11 (72,5%). Pembebanan ini wajar dan mencerminkan pola dispatch yang terdistribusi, di mana G04 dan generator lainnya (seperti G01, G09, G06) secara bersama-sama menyuplai daya aktif sekaligus daya reaktif untuk menopang tegangan. Tidak ada satupun saluran yang mengalami kelebihan beban (overloading).
Pentingnya G04 dalam skenario ini bukan hanya pada suplai 552,8 MW, tetapi juga pada kontribusi daya reaktif lokal. Dengan G04 yang aktif, kebutuhan MVAr di areanya dapat dipasok secara lokal. Hal ini mengurangi kebutuhan transfer daya reaktif dari generator yang lokasinya jauh. Aliran daya reaktif yang efisien ini membantu menjaga pembebanan MVA total pada saluran-saluran tetap di bawah batas operasi mereka.
2) Kondisi Eksisting Beban Puncak Malam
Pada skenario Beban Puncak Malam (BPM), total permintaan daya sistem meningkat. Untuk menjaga keseimbangan daya, sistem harus meningkatkan dispatch (penugasan) dari setiap generator yang beroperasi. Data pada Gambar 9 mengonfirmasi hal ini. Output G04 meningkat substansial menjadi 692,5 MW untuk memenuhi permintaan puncak malam. Peningkatan ini menegaskan peran krusial G04. Generator besar lainnya juga mengalami peningkatan dispatch signifikan, G01 melonjak menjadi 1095,7 MW dan G09 menjadi 909,4 MW.Peningkatan beban aktif (MW) ini secara teoretis juga diiringi dengan peningkatan kebutuhan daya reaktif (MVAr) sistem. Peningkatan aliran arus di saluran transmisi akan memperbesar rugi-rugi reaktif I^2 X dan menurunkan profil tegangan. Oleh karena itu, pada skenario BPM, generator sinkron seperti G04, G01, dan G09 tidak hanya harus menaikkan output MW mereka. Mereka juga harus meningkatkan eksitasi untuk memproduksi lebih banyak MVAr demi menopang tegangan jaringan. Skenario ini menunjukkan kondisi operasi yang lebih berat dan menyoroti ketergantungan sistem yang sangat besar pada G04, baik untuk suplai daya aktif maupun daya reaktif.
Lalu pada kondisi saluran Pada skenario Eksisting Malam (BPM), profil aliran daya berubah drastis untuk memenuhi kebutuhan beban yang jauh lebih tinggi. Peningkatan dispatch dari semua generator, terutama G01 (1095,7 MW) dan G04 (692,5 MW), menyebabkan aliran daya yang jauh lebih besar pada jaringan. Gambar 10 mengidentifikasi adanya pelanggaran batas keamanan (N-0 contingency) pada sistem eksisting. Line 21-22 mengalami overloading sebesar 110,7%. Selain itu, Line 16-19 beroperasi pada kondisi sangat kritis, yaitu 99,7%. Overloading pada Line 21-22 kemungkinan besar disebabkan oleh evakuasi daya yang sangat besar dari salah satu generator utama (seperti G01 atau G09) untuk memenuhi permintaan BPM. Beban 110,7% ini adalah pembebanan apparent power (MVA). Ini berarti saluran tersebut tidak hanya terbebani oleh aliran daya aktif (MW) yang masif, tetapi juga oleh aliran daya reaktif (MVAr) yang substansial. Peningkatan kebutuhan MVAr ini diperlukan untuk mengkompensasi rugi-rugi reaktif yang lebih besar dan untuk menopang tegangan pada beban puncak
3) Kondisi Beban Puncak Siang
Skenario ini mensimulasikan transisi energi inti pada siang hari. Sistem memensiunkan G04 (output 0,0 MW) dan mengaktifkan PLTS di Bus 16 (injeksi 640 MW). Sistem kehilangan 552,8 MW dari G04 namun mendapatkan 640 MW dari PLTS, menghasilkan surplus daya aktif bersih sekitar 87,2 MW. Sesuai prinsip economic dispatch, sistem merespons surplus ini dengan mengurangi output generator termal lain yang lebih mahal. Gambar 9 membuktikan ini. Output G01 berkurang menjadi 855,8 MW dan G09 berkurang menjadi 710,4 MW. Ini menunjukkan bahwa pada siang hari, PLTS sukses menggantikan G04 dan bahkan mengurangi beban generator konvensional lainnya.
Namun, terdapat dampak krusial terkait daya reaktif. Berdasarkan parameter simulasi, PLTS dioperasikan pada Power Factor 1.0 (unity), yang berarti PLTS hanya menyuplai daya aktif (MW) dan tidak menyumbang daya reaktif (MVAr) sama sekali sistem kini tidak hanya kehilangan 552,8 MW daya aktif dari G04, tetapi juga kehilangan seluruh kapasitas suplai MVAr yang sebelumnya disediakan G04. Untuk menjaga tegangan, generator sinkron lain yang tersisa (seperti G01 dan G09) harus mengkompensasi kehilangan MVAr ini. Akibatnya, G01 dan G09 harus meningkatkan produksi daya reaktif mereka (menaikkan eksitasi) meskipun mereka sedang mengurangi produksi daya aktif. Hal ini mengubah titik operasi mereka pada capability curve dan menambah stress pada sistem eksitasi generator.
Lalu pada kondisi saluran, Pada skenario PLTS Siang (BPS), pensiunnya G04 dan injeksi 640 MW dari PLTS di Bus 16 secara fundamental mengubah pola aliran daya. Gambar 10 menunjukkan bahwa overloading pada Line 21-22 (yang terjadi pada BPM) kini hilang, dan saluran tersebut beroperasi aman di 84,3%. Saluran Line 16-19 juga mengalami penurunan beban signifikan menjadi 13,9%. Penurunan ini logis, karena G04 (yang sebelumnya menggunakan koridor 16-19) telah pensiun. Sebagai gantinya, Line 15-16 (saluran interkoneksi PLTS ke Bus 16) kini menjadi salah satu saluran terbebani, yaitu 69,6%.
Perubahan ini juga menyoroti dampak dari suplai daya reaktif. PLTS beroperasi pada unity power factor (0 MVAr). Ini berarti Line 15-16 yang terbebani 69,6% tersebut hampir seluruhnya mengalirkan daya aktif murni (MW). Namun, sistem tetap membutuhkan daya reaktif yang sebelumnya disuplai oleh G04. Kebutuhan MVAr ini sekarang harus dipasok oleh generator sinkron lain (G01, G09, dll) dari lokasi yang lebih jauh. Transfer daya reaktif jarak jauh ini menyebabkan pembebanan tambahan pada saluran lain, seperti Line 06-11 yang tetap tinggi di 72,7%.
4) Kondisi Beban Puncak Malam
Skenario ini merupakan kondisi paling kritis yang menguji keandalan sistem. Pada kondisi BPM, total permintaan daya berada di puncaknya, namun dua sumber daya penting tidak tersedia. G04 sudah pensiun (output 0,0 MW) dan PLTS juga tidak menghasilkan daya (output 0 MW). Di sinilah kehilangan pembangkitan G04 sangat berkontribusi terhadap defisit daya. Sistem secara tiba-tiba kehilangan suplai daya masif yang sebelumnya G04 sediakan (sebesar 692,5 MW pada Eksisting Malam) dan tidak mendapatkan kompensasi apapun dari PLTS. Sembilan generator tersisa harus menanggung seluruh defisit 692,5 MW ini. Data pada Gambar 9 menunjukkan konsekuensinya, memaksa G01 beroperasi pada 1235,3 MW (melonjak 139,6 MW) dan G09 pada 1025,3 MW (melonjak 115,9 MW). Peningkatan output paksa ini sangat mungkin mendorong G01 dan G09 beroperasi melampaui batas kapasitas aman (PMax) mereka, yang memicu risiko overloading.
Dampak pada daya reaktif bahkan lebih parah. Sistem tidak hanya kehilangan 692,5 MW daya aktif, tetapi juga kehilangan seluruh dukungan daya reaktif vital yang G04 sediakan pada beban puncak. Di saat yang sama, PLTS sebagai pengganti, juga tidak menyumbang daya reaktif (0 MVAr). Ini menciptakan defisit daya reaktif yang sangat besar tepat pada saat beban MVAr sistem sedang tinggi-tingginya. Generator tersisa (G01, G09, dll.) kini menghadapi stress ganda. Mereka dipaksa beroperasi pada batas PMax (MW) mereka, dan secara bersamaan dipaksa meningkatkan eksitasi ke batas QMax (MVAr) untuk menopang tegangan agar tidak kolaps. Capability curve generator menunjukkan bahwa pada PMax, kemampuan memproduksi MVAr (Q) sangat terbatas. Skenario ini menempatkan G01 dan G09 pada risiko over-excitation atau under-voltage (tegangan jatuh), yang dapat memicu proteksi dan kegagalan beruntun (cascading failure).
Sedangkan dampak pada saluran, kondisi PLTS Malam (BPM) adalah kondisi operasional paling berat dan berbahaya bagi jaringan transmisi. G04 telah pensiun (kehilangan 692,5 MW) dan PLTS tidak menghasilkan daya (0 MW). Seperti yang ditunjukkan analisis generator, G01 (1235,3 MW) dan G09 (1025,3 MW) dipaksa beroperasi pada dispatch maksimum. Aliran daya masif dari generator-generator yang tersisa ini untuk memenuhi beban puncak malam menyebabkan stress yang tinggi pada saluran jaringan.
Data pada Gambar 10 mengidentifikasi bahwa Line 21-22 mengalami overloading tinggi, mencapai 127,4%. Overloading ini merupakan akibat langsung dari evakuasi daya aktif (MW) yang terkonsentrasi dan masif dari G01/G09. Selain itu, Line 02-03 (97,7%) dan Line 06-11 (90,4%) juga beroperasi di batas termal mereka. Situasi ini diperparah oleh krisis daya reaktif. Sistem tidak hanya kehilangan suplai MW dari G04, tetapi juga suplai MVAr vitalnya. G01 dan G09 kini harus menyuplai MW dan MVAr maksimum secara bersamaan. Aliran MVA gabungan inilah yang mendorong pembebanan Line 21-22 jauh melampaui 100%. Dalam kondisi nyata, proteksi saluran akan bekerja dan menyebabkan Line 21-22 trip (lepas), yang hampir pasti akan memicu kegagalan beruntun (cascading failure).
B. Analisis Stabilitas Frekuensi
Sub-bab ini akan membahas hasil analisis stabilitas frekuensi. Tujuan utamanya adalah menginvestigasi bagaimana transisi dari PLTU G04 ke PLTS serta kenaikan beban 5% memengaruhi frekuensi yang dihasilkan pada generator-generator lain di dalam sistem. Analisis ini didasarkan oleh prinsip fundamental keseimbangan daya. Prinsip ini mengharuskan total daya bangkitan (aktif dan reaktif) selalu sama dengan total konsumsi beban ditambah rugi-rugi daya pada jaringan. Setiap perubahan pada sisi pembangkitan atau beban akan memaksa sistem mencari titik keseimbangan operasional yang baru.
1) Kondisi Eksisting Beban Puncak Siang
Skenario ini merepresentasikan kondisi dasar (baseline) sistem saat Beban Puncak Siang (BPS). Data pada Gambar 9 menunjukkan bahwa PLTU G04, unit yang akan pensiun, beroperasi aktif dan menyumbang daya signifikan ke jaringan sebesar 552,8 MW. Kontributor terbesar pada skenario ini adalah G01 (874,6 MW), diikuti oleh G09 (725,9 MW). Kondisi ini menggambarkan sistem yang stabil di mana beban terdistribusi di antara beberapa pembangkit termal utama, termasuk G04. Dalam kondisi steady-state ini, governor dari G04 (dan generator lainnya) telah menerima set-point dari Automatic Generation Control (AGC) untuk mempertahankan output 552,8 MW.
Governor G04 secara aktif mengatur katup uap (steam valve) untuk memastikan daya mekanis (P_m) dari turbinnya persis sama dengan daya elektris (P_e) yang dikirim ke grid. Dalam konteks Persamaan 3, ini adalah kondisi ekuilibrium di mana P_m total sama dengan P_e total, sehingga laju perubahan frekuensi (df/dt) adalah nol dan frekuensi stabil di 60 Hz. Selain itu, G04 sebagai generator sinkron juga menyediakan dua layanan vital lainnya: (1) Inersia H dari massa berputarnya, yang penting untuk menahan df/dt saat terjadi gangguan, dan (2) suplai daya reaktif (MVAr) untuk menopang profil tegangan di areanya.
Sebagai skenario Eksisting Siang menunjukkan respons sistem yang normal. Pada T=0, frekuensi awal adalah 60,0 Hz. Ketika gangguan 5% terjadi, P_e tiba-tiba melebihi P_m, menyebabkan frekuensi turun. Karena G04 masih beroperasi, total inersia sistem berada pada level tertingginya, sehingga laju penurunan frekuensi (RoCoF) relatif lambat. Governor dari G04 dan 9 generator lainnya memiliki headroom (cadangan daya) yang cukup. Mereka segera merespons dengan meningkatkan P_m untuk mencapai nilai frekuensi frekuensi. Berdasarkan Gambar 11, frekuensi mencapai titik terendah (nadir) yang aman pada 59,49 Hz. Setelah osilasi kecil, sistem stabil pada frekuensi steady-state baru sekitar 59,64 Hz, menunjukkan respons primer yang sukses.
2) Kondisi Eksisting Beban Puncak Malam
Pada skenario Beban Puncak Malam (BPM), total permintaan daya sistem (beban P_e) meningkat secara signifikan. Untuk menjaga keseimbangan daya, dispatch (penugasan) dari setiap generator yang beroperasi harus ditingkatkan. Data pada Gambar 9 mengonfirmasi hal ini. Output PLTU G04 meningkat substansial menjadi 692,5 MW untuk memenuhi permintaan puncak malam. Peningkatan ini menegaskan peran krusial G04. Generator besar lainnya juga mengalami peningkatan dispatch signifikan, G01 melonjak menjadi 1095,7 MW dan G09 menjadi 909,4 MW. Peningkatan output ini adalah hasil akhir dari aksi governor (pengatur putaran) di seluruh sistem. Governor pada G04 menerima sinyal (dari AGC) untuk membuka katup uap lebih lebar, meningkatkan input daya mekanis (P_m) hingga setara dengan daya elektris (P_e) yang dibutuhkan, yaitu 692,5 MW.
Berdasarkan Persamaan (3), yang dikenal sebagai persamaan ayunan rotor, analisis aliran daya statis ini menunjukkan kondisi steady-state. Pada kondisi ini, laju perubahan frekuensi (df/dt) adalah nol. Hal ini hanya dapat terjadi jika daya mekanis (P_m) yang diatur oleh governor G04 persis sama dengan daya elektris P_e yang ditarik oleh jaringan, sehingga selisih antara P_m dan P_e adalah nol. Selain itu, G04 sebagai generator sinkron juga menyuplai daya reaktif (MVAr) yang penting.
Pada beban puncak malam, kebutuhan MVAr sistem meningkat tajam untuk mengkompensasi rugi-rugi I^2 X yang tinggi di saluran transmisi dan untuk menopang tegangan. Kemampuan G04 untuk menyuplai MW dan MVAr secara bersamaan menunjukkan perannya yang sentral dalam menjaga stabilitas sistem pada kondisi terberat.
Pada skenario Beban Puncak Malam, sistem sudah berada dalam kondisi terbebani berat secara statis. Meskipun frekuensi awal adalah 60,0 Hz, generator (termasuk G04 dan G01) beroperasi mendekati PMax mereka, yang berarti headroom governor sangat terbatas. Ketika gangguan 5% (yang secara absolut dalam MW lebih besar dari gangguan BPS) terjadi, ketidakseimbangan P_m≪P_e menjadi sangat besar. Walaupun inersia sistem sama dengan skenario BPS, kemampuan governor untuk menyediakan P_m tambahan sangat kurang. Akibatnya, frekuensi tidak dapat ditahan secara efektif. Berdasarkan Gambar 11, frekuensi sistem anjlok secara drastis ke nadir 57,23 Hz. Ini adalah level yang sangat berbahaya yang dalam praktiknya akan memicu skema pelepasan beban (Under-Frequency Load Shedding / UFLS). Sistem akhirnya stabil di frekuensi 58,60 Hz, yang menunjukkan bahwa cadangan primer sistem sudah habis bahkan dalam kondisi eksisting.
3) Kondisi Beban Puncak Siang
Skenario ini mensimulasikan transisi energi inti pada siang hari, yakni sistem memensiunkan G04 (output 0,0 MW) dan mengaktifkan PLTS di Bus 16 (injeksi 640 MW P_e). Sistem kini kehilangan 552,8 MW P_m dari G04 (dibanding Eksisting Siang) namun mendapat 640 MW P_e dari PLTS. Surplus daya ini, sesuai dengan Persamaan 3, akan menyebabkan ketidakseimbangan daya mekanis dan elektris yang membuat frekuensi sistem naik df/dt>0. Untuk menyeimbangkan kembali sistem (mengembalikan selisih P_m dan P_e total menjadi nol), governor pada unit generator sinkron yang tersisa (G01, G09, dll.) harus merespons. Mereka akan merasakan frekuensi naik (atau menerima sinyal AGC) lalu secara otomatis menutup katup mereka, mengurangi input P_m (daya mekanis) mereka. Data pada Gambar 9 membuktikan hal ini, di mana G01 mengurangi outputnya menjadi 855,8 MW dan G09 menjadi 710,4 MW.
Dampak dari skenario ini sangat fundamental. Pertama, pensiunnya G04 menghilangkan konstanta inersia H (massa berputar) yang vital dari sistem. PLTS sebagai pembangkit inverter tidak memiliki inersia fisik H ≈0. Hilangnya H dari G04 ini secara langsung mengurangi total inersia sistem, yang berarti konstanta inersia H yang merupakan komponen kunci dalam Persamaan 3 menjadi lebih kecil. Hal ini membuat sistem jauh lebih rentan terhadap perubahan frekuensi df/dt yang cepat saat terjadi gangguan. Kedua, PLTS beroperasi pada Power Factor 1.0, yang berarti ia tidak menyuplai daya reaktif (MVAr). Sistem kini kehilangan suplai MVAr yang sebelumnya disediakan G04, memaksa generator sinkron lain (G01, G09) untuk meningkatkan produksi MVAr mereka (menaikkan eksitasi) bahkan saat governor mereka mengurangi produksi MW.
Skenario ini adalah kunci untuk melihat dampak hilangnya G04. Pada T=0, frekuensi awal adalah 60,0 Hz. G04 telah pensiun, yang berarti total inersia sistem kini berkurang secara signifikan (karena massa berputar G04 hilang dan PLTS tidak memiliki inersia). Saat gangguan 5% terjadi, ketidakseimbangan P_m≪P_e (yang sama dengan Eksisting Siang) kini bekerja pada sistem dengan H yang lebih kecil. Sesuai Persamaan 3, H yang lebih kecil menghasilkan df/dt (laju perubahan frekuensi) yang lebih cepat. Governor dari 9 generator yang tersisa merespons, namun karena frekuensi jatuh lebih cepat, mereka tidak dapat menangkapnya seefektif sebelumnya. Berdasarkan Gambar 11, hal ini terbukti: frekuensi nadir mencapai 59,43 Hz. Nilai ini lebih dalam 0,06 Hz dibandingkan Eksisting Siang (59,49 Hz), yang merupakan dampak langsung dan terukur dari hilangnya inersia G04. Sistem stabil di 59,61 Hz, sedikit lebih rendah dari Eksisting Siang karena beban gangguan yang sama kini ditanggung oleh 8 governor, bukan 9.
4) Kondisi Beban Puncak Malam
Skenario ini merupakan kondisi paling kritis yang menguji keandalan sistem. Pada kondisi BPM, total permintaan daya (P_m) berada di puncaknya, namun dua sumber daya penting tidak tersedia. G04 sudah pensiun (output 0,0 MW) dan PLTS juga tidak menghasilkan daya (output 0 MW). Sistem secara tiba-tiba kehilangan suplai daya mekanis (P_m) masif yang sebelumnya G04 sediakan (sebesar 692,5 MW pada Eksisting Malam) dan tidak mendapatkan kompensasi apapun dari PLTS. Untuk mencegah keruntuhan frekuensi (di mana P_m total jauh lebih kecil dari P_e total), governor dari semua sembilan generator yang tersisa akan bereaksi secara maksimal. Mereka akan membuka katup (uap/gas) mereka sepenuhnya, mencoba sekuat tenaga untuk menyamai P_e beban.Data pada Gambar 9 menunjukkan hasil dari respons darurat ini. G01 dipaksa beroperasi pada 1235,3 MW dan G09 pada 1025,3 MW. Angka-angka ini kemungkinan besar adalah batas PMax (daya mekanis maksimum) generator, yang berarti governor mereka sudah terbuka penuh (saturated) dan tidak memiliki headroom (cadangan) tersisa.
Dalam konteks Persamaan 3, case ini adalah kondisi yang sangat rapuh. Meskipun analisis aliran daya (statis) berhasil menemukan solusi di mana P_m total sama dengan P_e total, sistem tidak memiliki kemampuan respons lagi. Setiap gangguan kecil yang menaikkan P_e (beban) tidak akan bisa diimbangi oleh P_m (karena governor sudah jenuh), yang akan segera menyebabkan ketidakseimbangan P_m<P_e dan laju perubahan frekuensi df/dt menjadi negatif permanen, mengarah ke keruntuhan frekuensi. Ini diperparah dengan hilangnya inersia H dari G04 dan hilangnya suplai MVAr, yang memaksa G01 dan G09 beroperasi pada titik paling tidak stabil di capability curve mereka.
Skenario ini menunjukkan keruntuhan sistem (system collapse). Dari analisis aliran daya (4.1.4), kita tahu bahwa generator G01 dan G09 sudah beroperasi pada PMax mereka (1235,3 MW dan 1025,3 MW) hanya untuk memenuhi beban statis. Ini berarti governor mereka sudah dalam kondisi jenuh (terbuka penuh) dan tidak memiliki headroom (cadangan) sama sekali (0 MW). Sistem juga menderita inersia H yang rendah karena G04 telah pensiun. Ketika gangguan 5% terjadi, P_e meningkat. Sistem sangat membutuhkan P_m tambahan untuk menyeimbangkannya. Namun, karena governor sudah jenuh, P_m tidak dapat dinaikkan. Ketidakseimbangan P_m ≪ P_e menjadi permanen. Persamaan 3 menjelaskan bahwa jika P_m-P_e konstan negatif, df/dt akan konstan negatif; frekuensi akan terus jatuh dan tidak akan pernah pulih. Berdasarkan Gambar 11, inilah yang terjadi: frekuensi sistem runtuh total, anjlok ke nadir 46,93 Hz dan tidak pernah kembali ke 60 Hz. Ini adalah skenario blackout yang definitif, menunjukkan ketidakstabilan sistem akibat hilangnya G04 pada kondisi beban puncak malam.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis aliran daya dan stabilitas frekuensi yang telah dilakukan, penelitian ini menarik beberapa kesimpulan krusial mengenai dampak penggantian PLTU G04 dengan PLTS skala besar pada sistem uji IEEE 39 Bus:
- Analisis aliran daya menunjukkan bahwa pada skenario Beban Puncak Siang (BPS), PLTS (injeksi 640 MW) berhasil menggantikan kapasitas G04 yang hilang (552,8 MW). Hal ini bahkan berdampak positif dengan mengurangi dispatch daya aktif pada generator sinkron lainnya (G01, G09). Namun, keberhasilan ini diiringi peringatan serius: karena PLTS beroperasi pada unity power factor (0 MVAr), sistem kehilangan sumber daya reaktif vital yang sebelumnya disuplai G04, sehingga memaksa generator lain untuk mengkompensasi dan beroperasi pada titik yang berbeda.
- Skenario Beban Puncak Malam (BPM) pasca-transisi adalah kondisi kegagalan sistem yang tidak dapat dihindari. Pensiunnya G04 (kehilangan 692,5 MW) pada saat PLTS tidak berproduksi (0 MW) menciptakan defisit kapasitas masif. Untuk memenuhi beban puncak, generator tersisa (G01, G09) dipaksa beroperasi jauh melampaui batas PMax mereka (mencapai 1235,3 MW). Hal ini menyebabkan overloading tidak hanya pada generator, tetapi juga pada saluran transmisi kritis (Line 21-22 mencapai 127,4%), yang dalam praktiknya akan memicu kegagalan beruntun (cascading failure).Penurunan Stabilitas Dinamis Akibat Hilangnya Inersia:Analisis stabilitas frekuensi membuktikan dampak negatif dari hilangnya inersia ($H$) G04. Bahkan pada skenario BPS (siang hari), di mana sistem stabil, nadir frekuensi saat terjadi gangguan 5% lebih dalam (59,43 Hz) dibandingkan sistem eksisting (59,49 Hz). Ini menunjukkan sistem menjadi lebih rentan dan memiliki laju perubahan frekuensi (RoCoF) yang lebih cepat setelah kehilangan massa berputar G04.
- Temuan paling kritis adalah keruntuhan frekuensi total pada skenario PLTS Malam (BPM). Generator tersisa yang sudah overloading secara statis tidak memiliki headroom governor (cadangan primer) sama sekali. Ketika gangguan 5% terjadi, tidak ada respons daya mekanis yang dapat mengimbangi peningkatan beban. Sesuai Persamaan 3, hal ini menyebabkan ketidakseimbangan daya permanen dan frekuensi runtuh total, mencapai nadir 46,93 Hz, yang mengindikasikan blackout sistem yang definitif.
Secara keseluruhan, studi ini membuktikan bahwa mengganti pembangkit sinkron (PLTU) yang dispatchable dengan pembangkit intermiten berbasis inverter (PLTS) dalam rasio kapasitas 1:1 tidak layak secara teknis dan membahayakan keandalan sistem. Transisi ini memerlukan strategi mitigasi, seperti penambahan unit peaker baru untuk menutupi defisit daya malam hari, serta instalasi Battery Energy Storage Systems (BESS) atau Synchronous Condenser untuk menyediakan inersia dan respons frekuensi cepat.
Daftar Pustaka
[1] International Energy Agency, Net Zero by 2050: A Roadmap for the Global Energy Sector - Summary for Policy Makers. Paris, Prancis: IEA, 2021. [Online]. Available: https://iea.blob.core.windows.net/assets/7ebafc81-74ed-412b-9c60-5cc32c8396e4/NetZeroby2050-ARoadmapfortheGlobalEnergySector-SummaryforPolicyMakers_CORR.pdf
[2] International Energy Agency, “Executive summary – Net Zero Roadmap: A Global Pathway to Keep the 1.5 °C Goal in Reach,” IEA. [Online]. Available: https://www.iea.org/reports/net-zero-roadmap-a-global-pathway-to-keep-the-1-5-c-goal-in-reach/executive-summary
[3] International Energy Agency, “Net Zero Emissions by 2050 Scenario (NZE) – Global Energy and Climate Model,” IEA. [Online]. Available: https://www.iea.org/reports/global-energy-and-climate-model/net-zero-emissions-by-2050-scenario-nze
[4] International Energy Agency, “An updated roadmap to Net Zero Emissions by 2050,” dalam World Energy Outlook 2022, IEA. [Online]. Available: https://www.iea.org/reports/world-energy-outlook-2022/an-updated-roadmap-to-net-zero-emissions-by-2050
[5] “Pengaruh Integrasi PLTS Kapasitas 4×25 MW Terhadap Stabilitas Sistem Tenaga Listrik 150 KV Bali,” Eprints ITN Repository - ITN Malang, Sep. 2025. [Online]. Available: http://eprints.itn.ac.id/15076/
[6] “Indonesia eyes nuclear energy to reach 2060 net-zero target,” ANTARA News, 28 Okt. 2025. [Online]. Available: https://en.antaranews.com/news/388413/indonesia-eyes-nuclear-energy-to-reach-2060-net-zero-target
[7] “Kendala dan Solusi Pembangunan PLTS,” LMS-SPADA INDONESIA, 25 Okt. 2024. [Online]. Available: https://lmsspada.kemdiktisaintek.go.id/mod/forum/discuss.php?d=26773
[8] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. [Online]. Available: https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/225308/pe
[9] “Perpres Energi Terbarukan Beri Ruang untuk PLTU Batu Bara,” Yayasan Indonesia Cerah, 26 Sep. 2022. [Online]. Available: https://www.cerah.or.id/publications/article/detail/perpres-energi-terbarukan-beri-ruang-untuk-pltu-batu-bara
[10] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. [Online]. Available: https://jdih-old.kemenkeu.go.id/download/7332a343-0623-4d26-80f2-9d8f62a5c2ba/2022perpres112.pdf
[11] “Mengapa Pengembangan PLTS Indonesia Tertinggal dari Negara Tetangga di ASEAN?,” Teknik Elektro, Universitas Nusa Putra. [Online]. Available: https://te.nusaputra.ac.id/artikel/mengapa-pengembangan-plts-indonesia-tertinggal-dari-negara-tetangga-di-asean/
[12] “Indonesia expands rural energy access with community programs,” ANTARA News, 29 Okt. 2025. [Online]. Available: https://en.antaranews.com/news/388585/indonesia-expands-rural-energy-access-with-community-programs
[13] “Tantangan PLTS Off-Grid: Stabilitas dan Biaya,” Atonergi. [Online]. Available: https://atonergi.com/tantangan-plts-off-grid-stabilitas-dan-biaya/
[14] “IESR paparkan tantangan utama proyek PLTS skala besar,” ANTARA News, 2 Sep. 2025. [Online]. Available: https://www.antaranews.com/berita/5082493/iesr-paparkan-tantangan-utama-proyek-plts-skala-besar
[15] Y. Yu, W. Gu, Y. Wang, W. Sun, and F. Chen, “The probabilistic load flow analysis of power system considering the fluctuation of smelting load,” in 2017 IEEE Conference on Energy Internet and Energy System Integration (EI2), IEEE, Nov. 2017, pp. 1–5. Accessed: Oct. 25, 2025. [Online]. Available: https://doi.org/10.1109/ei2.2017.8245267
[16] O. H. Abdalla, H. H. Fayek, and A. G. M. Abdel Ghany, “Secondary and Tertiary Voltage Control of a Multi-Region Power System,” Electricity, vol. 1, no. 1, pp. 37–59, Sep. 2020, doi: 10.3390/electricity1010003.
[17] T. Tumiran et al., “Power System Planning Assessment for Optimizing Renewable Energy Integration in the Maluku Electricity System,” Sustainability, vol. 14, no. 14, p. 8436, Jul. 2022, doi: 10.3390/su14148436.