Menyiram ; Seperlunya Menunggu : Secukupnya
Sejak malam itu, kebun ini terasa lain.
Rintik hujan pelan menyapa pagi, menebar wangi tanah basah yang mulai mengeluarkan bau tembakau. Aku tak perlu buru-buru menyiram; langit sudah mengambil alih tugasku. Semerbak wangi melati di sudut taman sudah begitu pekat, tanda puas disapa pagi yang basah. Aku hanya berdiri di teras; memandangi tetes air di ujung daun, dan entah bagaimana pikiranku langsung berkelna kepadamu.
Jika kamu adalah bibit bunga baru, aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku akan siapkan tanah serta pupuk terbaik, mencari pot tercantik, dan tidak lupa menyiramnya setiap pagi. Aku akan sabar menunggu tunasnya keluar.
Tapi kamu datang sebagai batu.
Aku tidak tahu cara merawat batu. Apakah dia butuh matahari? Apakah dia akan retak jika kedinginan? Jika aku menyapanya, apakah dia akan diam saja?
Tanganku gatal ingin mengambil ponsel. Jari-jariku sudah menari di atas layar, mengetik, "Batu yang kamu tinggal semalam, masih di sini."
Lalu aku menghapusnya.
Aku ketik lagi, "Semalam menyenangkan, bukan?"
Hapus lagi. Terlalu gamblang.
Aku berakhir dengan tidak mengirim apa-apa.
Aku, si tukang kebun yang merasa paling tahu segalanya soal merawat, kini dibuat lumpuh oleh sebongkah batu. Aku takut. Aku takut jika aku bertanya, "Apa maksud batu ini?" kamu akan tertawa dan menjawab, "Itu kan cuma batu."

Lalu bagaimana dengan kebunku yang telanjur berharap? Bagaimana dengan melati-melatiku yang telanjur cemburu pada benda asing itu?
Aku kembali mengelilngi taman karena hujan sudah reda. Tapi kali ini, mataku tak lepas memandangi batu itu. Bertanya-tanya, apakah aku harus menyimpannya, atau membuangnya ke luar pagar agar kebunku kembali seperti sedia kala.

Dan yang paling menakutkan adalah, aku tidak yakin aku ingin kebunku kembali seperti sedia kala.