Wildy Zhalifunnas   •  

Tempat Antara Dua Biru yang Saling Bertaut


Sore hari, di pertemuan langit dan samudra. Tempat dimana ditemukan dua biru serta dua waktu yang saling bertaut.

Ada seekor lumba-lumba yang sesekali naik untuk menghirup udara asin memenuhi paru-parunya. Di batu karang yang menjorok, seekor burung sedang beristirahat sejenak menghadap laut, membaca arah angin sebelum terbang lagi. Mereka saling melihat tanpa tergesa. Tidak ada janji apa pun. Hanya pengakuan sederhana bahwa mereka bertemu di batas yang sama.

“Sanggupkah aku menampung luasmu? Aku takut.” kataku akhirnya.

“Takut akan apa?”

“Akan kemungkinan bahwa aku tak cukup,” jawabku.

“Kau bergerak dengan kolonimu, kau memimpin, kau membaca garis-garis air seperti mantra. Sementara aku hanya menimbang angin dan singgah di tempat yang tinggi dan tak pasti. Bagaimana jika suatu saat aku tak bisa menjadi apa yang kau butuhkan?”

Kau berhenti berenang, tenang, dan hanya ekor yang sesekali memecah permukaan.

“Kapasitas bukan soal seberapa luas wadah, melainkan cara menjaga ruang. Kau membaca langit, aku membaca laut. Sesaat badai datang, teduhkan aku dengan bayang sayapmu; saat sayapmu lelah, biar airku yang menenangkanmu. Kita saling menampung dari arah yang berbeda.” jawabmu dengan tenang.

Bayang sayapku menutup punggungmu. Air di sekelilingmu menenangkan bunyi sayapku. Kami sepakat. Bahwa rumah adalah teluk yang kami rawat, bukan dua biru yang kami miliki.

~ bersambung