Saat Biru Menjelma Terrakotta dan Tata Cara Pulang
Kita masih di tempat yang sama, tempat bertemunya dua biru. Namun sore ini, biru yang satu telah menjelma terakota. Cahaya senja larut di permukaan laut, dan di garis batas itu, ragu mulai timbul.
“Aku masih ragu,” kataku, lebih pelan dari desau angin.
“Bagaimana jika esok kau ditarik jauh oleh kawananmu? Bagaimana jika musim memintaku terbang ke utara? Apakah ‘menjaga ruang’ masih cukup ketika jarak sudah menjadi ujian?”
Kau menampakkan punggungmu ke permukaan, membiarkan gelombang air kecil menyentuh batu tempatku berdiri.
“Ragu bukan musuh,” jawabmu.
“Biar Ia menjadi pagar agar kita tidak lalai. Kita tidak perlu menghapusnya, kita belajar berjalan di sisinya.”
“Aku tidak ingin berjanji yang tak sanggup kita tebus,” lanjutmu.
“Tapi kita bisa membuat tata cara pulang.”
Aku menoleh pada langit. Garis jingga mulai menipis, dan burung-burung lain mulai kembali ke tebing. “Tata cara pulang?”
“Tanda-tanda yang dapat kita baca,” katamu.
“Jika angin datang dari timur dan arus menghangat, aku menunggu di teluk ini saat air pasang pertama. Bila angin barat membawa dingin, kaulah yang menunggu di batu ini sampai bintang pertama menyala. Jika awan-awan rendah menutup langit, dengarkan tiga kali sentuhanku pada permukaan—aku akan muncul di busur ketiga.”
Aku mencoba menimbangnya. Bukan sumpah, bukan kepemilikan. Hanya kebiasaan yang disusun dari hal-hal kecil yang bisa diulang.
“Dan bila aku tak bisa datang?” tanyaku.
“Maka tanda-tanda akan berubah, dan kita akan belajar untuk membacanya lagi,” katamu.
“Kita tidak saling berhutang penjelasan yang sempurna. Kita hanya saling menyediakan jalan untuk kembali pulang.”
Perahu nelayan melintas jauh, tinggal bayang dan bunyi mesin yang dipatahkan lembah angin. Aku merapatkan sayap.
“Kau mengatakannya seolah badai selalu dapat dipetakan.”
“Tidak,” sahutmu. “Tapi saat badai datang, kita selalu punya cara untuk pulang.”
“Bagaimana caranya?”
~ bersambungbersambung